Minggu, 22 Januari 2012

Omah Tanjung Biyen.yg ber "Hoki".


Saat kita ingin mempunyai rumah, tentu kita berharap punya rumah yang hoki nya besar. Artinya rumah yang memberi manfaat bagi para penghuninya. Ayah ibu saya sebagaimana layaknya orangtua zaman dulu, berasal dari keluarga besar, namun kemudian ayah ibu memutuskan mempunyai anak cukup “tiga” agar ketiga anaknya mendapat pendidikan yang cukup. Maklum dengan gaji ibu sebagai kepala SD dan ayah guru SMA, maka kehidupan kami sangat sederhana. Namun sesederhananya saat itu, ayah ibu bisa membeli tanah seluas 500 m2 dan membangun rumah yang cukup besar, dengan kamar yang lebar beserta ada pavilyun nya.

Rumah kami juga merupakah tempat “jujugan” atau tempat tujuan utama bagi para saudara dari luar kota yang ingin menyekolahkan anaknya dikota kecil kami. Walau cuma tiga bersaudara, rumah kami selalu ramai dengan tambahan sepupu, dan saudara lain yang ikut menumpang, dan biasanya mereka membantu sebisanya. Ada yang setiap bulan menyumbang beras dan hasil panennya dari kampung, ada yang membantu dengan bekerja meringankan pekerjaan rumah tangga, seperti menyapu, memasak, menimba air, mengisi bak mandi dsb nya. Semakin besar saya (anak sulung) dan adik-adik, maka semakin berkurang yang ikut bersama ayah ibu, karena mereka yang ikut juga melanjutkan kuliah di kota lain, sudah mendapat pekerjaan dan atau sudah menikah. Akhirnya hanya orangtua dan saya bertiga adik-adik.

Rumah kami dekat dengan SMA I, yang saat itu terkenal sebagai sekolah yang gurunya bagus untuk memberikan dasar pelajaran eksakta, karena dulunya berasal dari SMA bagian B. Ayah sendiri mengajar di SMA II, namun ayah menganjurkan anak-anaknya sekolah di SMA I. Karena dekat dengan sekolah, teman-teman saya maupun teman adik sering belajar bersama di rumah kami yang cukup luas, dengan pohon mangga, belimbing, serta pohon kelapa yang selalu berbuah. Ibu juga sudah menganggap mereka seperti anaknya sendiri, sehingga banyak dari teman-teman yang sering tidur di rumah kami. Akhirnya ada teman adik saya yang ikut kost di rumah kami, dan dianggap sebagai anak sendiri. Rumah kami sangat sederhana walaupun besar, tapi banyak yang merasa krasan tinggal di rumah kami. Dan jika sekarang saya mengobrol bersama adik, kami menghitung berapa orang yang pernah tinggal kost di rumah kami, dan sekarang telah berhasil. Paling tidak, rumah dikampung telah menghasilkan para alumninya yang pernah tinggal di rumahku, dua doktor dan beberapa insinyur (sebutan sarjana teknik sebelum tahun 80 an).

Saat membangun rumah di Bandung, saya juga menginginkan situasi seperti rumah kami dikampung. Saya mencoba membangun rumah yang kamarnya cukup banyak, dan terpaksa bertingkat karena terbatasnya lahan. Rumah saya di Bandung memang belum menghasilkan seorang doktor, namun paling tidak dari yang tinggal dirumah kami, telah berhasil lulus S1 dua orang (anak saya dan sepupunya), serta sekarang masih ada satu lagi yang sedang skripsi. Saat ini rumah kami di Bandung juga diramaikan oleh tambahan keponakan, yang diterima ODP dan sedang job training di suatu Bank di Bandung. Saya juga berharap, suatu ketika siapapun yang pernah tinggal dirumahku di Bandung, akan mendapatkan hoki baik dalam bidang ilmu pengetahuan atau di bidang pekerjaan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar